Budaya

Puasa -oleh Muhammad Nazreen

7 OGOS – Ternyata wajah-wajah polos menahan lapar dan dahaga, melazimkan seorang Muslim untuk berada di kutub-kutub mencari cinta akhir yang paling hujung. Lantas, pengisian seorang yang bergelar Islam itu diabadikan dengan nilai Ramadhan yang sebaiknya.

Begitulah sebaiknya, apabila seseorang itu berpuasa, menahan segala keperluan untuk berlenang-lenang dengan sisi-sisi hedonisme ditarik sebentar. Islam mendidik manusia untuk merenungi maksud sebenar berpuasa.

Bagi pandangan penulis, Ramadhan menjanjikan segala ruang lingkup yang ada   untuk dipenuhi dengan tata cara moral yang paling terkesan. Puasa bukanlah tentang siapa yang mendahului atau didahului, tetapi pedoman buat sekalian manusia.

Dari suatu sudut, kita melihat gelonjak kemiskinan warga dunia. Bahkan, sesetengahnya sudah puas dengan acara-acara yang paling sengsara. Ternyata, mereka lebih faham tentang hikmah manusia itu berpuasa.

Agama

Agama itu bukanlah alat untuk menjanjikan kemewahan atau kekuasaan tetapi perlakuan moral seorang manusia meneruskan sisa-sisa hidup yang tinggal.

Di sini pengasas komunisme Karl Marx salah. Marx melihat ukuran agama sebagai alat yang semakin menjauhkan manusia lantas mencapai keterasingan. Walhal, agama itu jika diamati dengan makna yang paling autentik, adalah jalan-jalan menuju kecintaan kepada kemanusiaan, membuang kebobrokan nafsu yang meliar dan meningkatkan faham kecintaan pada yang Esa.

Bagi Marx, “semakin banyak yang tercurah ke jalan Tuhan, semakin banyak yang manusia terhilang dari bentuknya”. Tetapi, “semakin banyak yang tercurah ke jalan Tuhan, ia menjadi suatu subjek yang saling memprakasai hemat manusia-manusia kepada yang lebih tuntas, yakni memberikan jalan agama itu suatu kesaksian pada nilai ruh pada zat-zat dunia juga bahasa langit”.

Maka, dari waktu ke waktu, seraya sekalian manusia yang berpuasa itu sering sahaja memerlukan suatu yang hal tidak pernah selesai. Apakah puasa itu menjadikan tuah seorang yang tirani itu mencipta kemuliaan dengan membubuhkan ritual-ritual dengan kewenangan wang ringgit, menjanjikan majlis berbuka puasa di ruangan-ruangan keistanaan dengan sajian-sajian yang bercitarasa?

Kuasa

Di sini, keberadaan puasa itu berubah. Hal yang dirungkai dengan erti kata yang paling terkesan, hanyalah topeng-topeng menutup keangkuhan. Barangkali, puasa sudah menjadi semacam suatu hal yang eksklusif.

Sepertinya, puasa itu jalan-jalan menutup pintu dusta dengan melatarbelakangkan rasa yang semacam suatu keharusan yang ditindih dengan arca masyarakat sekelilingnya.

Arakian, barangkali kesaksian menahan lapar dan dahaga tidak lagi menjadi tekad melawan penindasan dan kebobrokan, tetapi semacam suatu hal yang ditandai dengan ketakutan pada godaan. Pada suatu hal, rata-rata umat manusia berpuasa kerana ikhlas kepada Allah tetapi sebenarnya menuntut perlindungan dari kekuasaan negara.

Akhirnya, bulan yang diangkat dengan kemuliaan ini berubah menjadi paradoks. Ada sahaja menanggapi puasa ini sebagai bentuk kekuasaan. Bahkan, “aku” lebih berkuasa berbanding dikuasai.

Persoalan akan menjadi berbeza sekiranya ia ditanggapi sebagai suatu hal yang lain daripada deprivasi menahan sesuatu yang zahir seperti hal makan-minum, lapar-dahaga tetapi meruntuhkan tembok-tembok keserakahan.

Dengan kata lain, puasa adalah kesediaan manusia menjadikan hal sepertinya mengurangi kekurangan dan berlebihan. Lalu, mencipta spektrum keseimbangan di dalam bentuk yang terkurang dan terlebih, supaya rencamnya itu lebih sekata dan seimbang. Itu lebih baik bukan?

Cinta

Dalam terus merungkai keberkesanan puasa itu, penulis cuba mendekatkan kesetaraan puasa itu dengan nilai cinta.

Apakah bentuk puisi “ayunkanlah aku, ke atas buih zatmu, supaya aku terbang, pada kelip bintang” yang dipetik Muhammad Haji Salleh di dalam karya ‘Di Bawah Ketapang’ itu cukup mengesankan para pelakunya?

Nescaya, rata-rata percaya jika penulis menghematkan cinta sebagai hal-hal yang abstrak, tetapi memperihalkan keikhlasan dan pengorbanan.

Mahatma Gandhi juga menaratifkan ‘ahimsa’ sebagai tekad melawan kekejaman, begitu juga sekaliannya yang berpuasa. Sedangkan, ibadah merupakan suatu kesaksian khilaf sang hamba pada Tuhannya, lantas merayu-rayu kecintaanNya supaya dikembalikan Jadi, ibadah itu hal nan agung.

Puasa itu juga cinta, di mana jalan-jalan puasa itu mengangkat manusia memotivasikan inci-inci perjuangan menuntut pembebasan yakni kebebasan.

Maka, filosuf Ali Shariati ternyata benar di dalam soal mengimarahkan jalan-jalan agama menuju pembebasan.

Nescaya, pekung-pekung suatu hal di mana hemat puasa itu sering ditanggapi dengan mempraktiskan segi kekuasaan adalah ciptaan paradoks supaya hal puasa itu semakin absurd. Walhal, intipati puasa itu melitupi segala hal terutamanya soal menghalang kebobrokan nafsu itu terus bermaharajalela.

Rahmat

Mungkin itu sebabnya mereka yang berpuasa juga tampak seperti orang yang ingin berkuasa. Kecuali jika puasa membuat kita sedar bahawa kita tak pernah mampu tegak utuh sendiri.

Kita, roh yang juga daging, terbentuk oleh zat-zat yang sama dengan zat-zat dunia —meski pun kesatuan antara roh dan daging itu menyebabkan manusia tak seluruhnya bisa dirumuskan.

Kita ada di bumi, di bawah langit, di antara makhluk lain yang fana, di hadapan Tuhan —sebuah variasi dari ‘Das Gerveiit’ Heidegger.

Dalam  keadaan itu, penulis merasakan bumi, langit, sesama makhluk dan rahmat Tuhan terus mengasuh sisi-sisi manusia di dalam beragama. Lantas, sekaliannya juga bisa menghilangkan ketamakan dan keserakahan nafsu.

Di situ, puasa tak akan disertai hasrat mendapatkan ganjaran  yang memuaskan buat tubuh yang merasa tertindas dan terasing oleh Ramadhan.

Di situ, puasa tak dimulai dengan merasa telah mereka telah disepikan dari suatu hal, hanya kerana mulut tak boleh menelan, lidah tak boleh merasa.

Di situ, puasa adalah pertemuan kembali dengan tubuh yang sebenarnya lumrah dan patut disyukuri. Bukan tubuh yang dikurung untuk diwaspadai. – Roketkini.com