Budaya

Belajar dari pantun II: Tentang makna dan ritme – Oleh Goenawan Mohamad

(Sambungan dari bahagian pertama)

Dalam telaahnya tentang pantun, Muhammad Haji Salleh menyebut sebuah adat istiadat orang Mandailing yang beliau dengar dari seorang peneliti Amerika.  Adat istiadat itu agaknya merupakan ‘arketaip pantun’ dalam bentuk non-verbal: anak-anak muda Mandailing menghantar bungkusan ranting-ranting, daun-daun, dan bunga sebagai simbol atau kiasan untuk maksud yang ingin disampaikan kepada kekasih mereka.Biasanya maksud ini dicapai melalui rima bunyi nama daun atau ranting yang dihantar itu dengan perkataan dalam bahasa Mandailing.

Bila ditelaah lebih jauh, sebenarnya laku itu tidak murni non-verbal:  benda-benda itu dihadirkan karena namanya, dan nama itu terkait dengan bunyi  nama itu dalam bahasa setempat. Tapi bayang-bayang dunia bahasa pada dunia benda-benda itu menunjukkan bahwa yang verbal bertaut dengan sesuatu yang meskipun tak dikatakan punya daya yang menghidupkan ekspresi.

Dalam variasi lain, kita menemukannyadalam sebuah contoh yang diberikan Fauconnier dalam The Soul of Malaysia dan dikutip oleh Braginsky:

“Osman: “Dari mana datangnya lintah?”

Mat (sambil merenung): “Galah patah di bukit…”

Osman (menyangkal): “Apa guna pasang pelita?”

Mat (sambil tertawa ironis): “Tumbuh limau di seberang…”

Percakapan itu bukanlah dialog dari sebuah teater absurd.  Itu, tulis Braginsky, ‘percakapan biasa di antara dua bujang, yang seluruh artinya akan dipahami orang-orang sekampung mereka’. Orang sekampung akan tahu, Osman dan Mat memetik larik-larik pertama beberapa buah pantun terkenal. Saya ambil dua:

Dari mana datangnya lintah?

(Dari sawah terus ke kaki.

Dari mana datangnya cinta?

Dari mata terus ke hati’)

Apa guna pasang pelita,

(Kalau tidak ada sumbunya?

Apa guna bermain mata,

Kalau tidak ada sungguhnya?)

Dengan kata lain, makna merupakan hasil proses interaksi antara yang terutarakan dan yang tersimpan dalam endapan pengalaman.  Lebih tepat lagi: dalam endapan pengalaman bersama. Makna tak ditentukan oleh sebuah subyek dengan alam pikiran yang mandiri, tegas, tapi terasing. Dunia di luar seorang penggubah pantun mempunyai daya dan dinamikanya sendiri. Sang penggubah pantun mau tak mau harus berhadapan dengan, untuk meminjam kata-kata Marx, ‘tradisi dari semua generasi yang telah mati’ yang terus berdiam ‘di kepala generasi yang masih hidup.’

Dengan kata lain, tradisi — dari endapan pengalaman kolektif — memegang peran penting.  Tapi tradisi ini juga, sebagaimana halnya bahasa, tak pernah sepenuhnya transparan.  Ia selalu ditafsirkan kembali tak putus-putusnya. Tradisi yang membentuk pantun bukan setegar sebuah doktrin. Ia tak kedap.. Di celah-celah tradisi yang  harus dan dapat ditafsirkan (dan dibentuk) kembali itu, seorang penggubah pantun, sebagaimana laiknya seorang pencipta, merdeka.

Berbeda dari penyair abad ke-20, para penggubah pantun mungkin tak menyadari sepenuhnya kemerdekaan ini. Tapi saya kira, tiap pencipta pantun yang menghasilkan kata-kata yang segar dan tulus, bermula dari dalam sebuah momen kemerdekaan.  Terutama dalam cetusan yang spontan.

Pantun, berbeda dari syair dan hikayat, adalah ungkapan sastra yang menunjukkan bahwa spontanitas itu tak mustahil. Puisi ini dapat lahir dari permainan anak-anak atau tercetus dari perjumpaan yang seketika.  Pantun tidak terjadi sebagai sebuah konstruksi arsitektural.

Sebuah bangunan bermula dari sebuah ide, dan dengan ide itu diturunkanlah sebuah desain, dan desain itu diikuti oleh struktur yang dihitung, yang akan diikuti himpunan bahan-bahan yang dihitung pula.  Dengan kata lain, seorang perancang bangunan melihat dunianya  — tanah, batu, kapur, pasir, baja dan besi — dan juga sudut pandangnya sendiri, sebagai sesuatu yang pasti, dari sebuah jarak.

Seorang pemantun tidak demikian.  Ia berhubungan dengan alam sekitarnya dan orang lain dalam keadaan serba mungkin, contingent: laut, kembang, burung, kekasih, perasaan hatinya dan bahasa yang dipakainya, saling menyentuh dan mengubah.   Seorang pemantun tak berada di sebuah ‘titik Archimides’ yang memungkinkannya memandang dunia dengan mata malaikat. Ia berbahasa bersama tubuhnya,  bersama hasrat-hasratnya, juga bersama pertautannya dengan manusia lain — pendek kata,  bersama dunia pribadi dan sosialnya dalam ruang dan waktu yang fana.

Pada suatu saat dalam proses kreatif,  sang pemantun memang seakan-akan berdiri tegas sebagai subyek yang mengatasi (dan kadang-kadang menafikan) kata, metafor, tamsil dari alam — bahan-bahan yang tersedia untuk ekspresinya. Itu juga saat kemerdekaannya. Tapi ia tak menaklukkan semuanya, baik untuk dimanfaatkan ataupun dibuang. Seperti saya singgung di atas,  dunia di luar sang pemantun, di mana juga hidup orang lain, punya daya dan dinamikanya sendiri.

Maka kemerdekaannya tak beda dari kemerdekaan manusia umumnya:  sanggup membentuk sesuatu yang baru namun tak sanggup membentuknya sesuka hati.

Itu sebabnya dalam penciptaan sastra, orang tak hanya menggunakan bahasa yang ditemukannya, tapi juga bahasa yang menemuinya. Bahkan Sutardji Calzoum Bachri sekalipun –dengan sajak-sajaknya yang segar, mengejutkan, memukau, dengan kredo puisinya yang ingin memerdekaan kata dari makna —  tak dapat melaksanakan agenda itu sepenuhnya. Marleau-Ponty mengingatkan kita bahwa manusia bukan saja ‘dihukum untuk merdeka’, tapi juga ‘dihukum ke dalam makna’.  Mau tak mau, suka tak suka, dalam berkata-kata ataupun diam, kita memberi dan menerima makna.

Tentu saja harus ditambahkan: makna itu tak seluruhnya tersimpan dalam  logos (isi kognitif dari kata). Ia juga berproses dalam lexis, dalam cara bagaimana kata-kata disampaikan. Bahkan juga dalam tiadanya kata-kata.  Bahasa, atau khususnya pantun, ibarat sebuah roda. Kata-kata adalah jari-jarinya, tapi di antara jari-jari itu ada ruang kosong — yang meringankan tubuh roda hingga lancar berputar.  Dengan kata lain, ruang kosong itu — dalam bahasa berarti tiadanya kata-kata — merupakan bagian integral dari proses pemaknaan.

Maka pembedaan antara logos dan lexis yang terkenal dari risalah Aristoteles tentang retorika tak berlaku di sini. Dalam pengalaman mengubah dan menikmati pantun, arti kata berbaur, campuh, atau saling mendorong dengan cara kata itu disusun secara tertulis atau lisan.  ‘Apa’-nya tak menentukan ‘bagaimana’-nya. Lafaz tak hanya mematuhi ma’ani; ia ikut melahirkannya.

Dalam hal ringkasnya pantun, misalnya.  Boleh jadi ini pelaksanaan estetika Melayu Klasik yang memujikan ‘kalam mukhtasar tiada dibuat’ — cetusan pendek, tak bertele-tele, yang tidak artifisial.  Tapi pada hemat saya, bentuk yang ringkas  itu bukan sekedar wadah yang pasif yang dirancang untuk menampung isi. Keringkasan bentuk itu lahir serentak dengan  dorongan hati yang hendak dengan tangkas menyentuh kita dalam humor, permainan, cemooh, teka-teki, atau kasih sayang.

Sebuah contoh:

Pinggan tak retak,

Nasi tak dingin.

Tuan tak hendak,

Kami tak ingin.

Tiga kata dengan masing-masing lima suku-kata itu menegaskan daya tolak yang lugas (‘Tuan tak hendak’,’Kami tak ingin’), yang tak berputar-putar.  Andaikata sikap yang lebih sabar yang jadi penggerak hati, frase yang tersusun akan lebih panjang dengan efek performatif yang berbeda.

Lebih dari pendek-panjangnya kalimat adalah bunyi. Bunyi kata dalam pantun tak dapat dianggap sesuatu yang dipasang di tahap kemudian dalam proses kreatif. Bunyi itu menyeruak sebagai bagian integral dari dorongan emotif. Ia bukan sekedar hiasan lahir untuk mempercantik cara (‘bagaimana’) ekspresi:

Kerengga di dalam buluh,

Serahi berisi air mawar.

Sampai hasrat di dalam tubuh,

Tuan seorang jadi penawar.

Bunyi ‘uh’ dalam pantun itu terdengar jelas. Ia cetusan, bukan hanya gema, dari hati yang berkeluh,  yang juga kita dapatkan dalam sajak Chairil Anwar, ‘Doa’:  ‘Betapa susah sungguh/Mengingat Kau penuh seluruh’.

Tak kurang dari itu kita menemukannya dalam pantun yang amat disukai Muhammad Haji Salleh ini:

Air yang dalam bertambah dalam,

Hujan di hulu belum lagi teduh.

Hati yang dendam bertambah dendam,

Dendam dahulu belum lagi sembuh.

Saya ingin menambahkan satu catatan di sini: ada yang istimewa dari pantun ini. Ia menyentuh hati dan imajinasi kita karena ia adalah paduan bunyi dan imaji. Dari dua baris pertama kita dibawa ke sebuah pemandangan sungai, atau telaga, yang gerak airnya membuat gundah, karena hujan turun tak berkesudahan. Citra ini sebuah contoh baris ‘pembayang’ yang mengelakkan potensi khaotiknya sendiri, untuk membentuk suasana kegundahan hati yang berlanjut ke dalam dua baris terakhir.

Begitu pula citra pada pantun yang saya kutip lebih dahulu. ‘Kerengga’, semut hitam, yang merayap dalam buluh yang tertutup, adalah sederet imaji yang menyarankan penantian, kesabaran yang cemas, dan harapan yang mungkin buntu. Sebaliknya ‘air mawar’ adalah sebuah citra kesegaran dan suasana riang.

Dalam telaahnya yang termashur, Orality and Literacy, Walter Ong mengatakan bahwa tanpa tulisan, ‘kata sebagai kata tak punya kehadiran visual, bahkan ketika obyek-obyek yang mereka gambarkan bersifat visual’.  Pada hemat saya, kesimpulan itu tak tepat.  Pantun di atas — yang sangat akrab dengan budaya lisan — menghadirkan sesuatu yang visual dalam imajinasi kita.  Bunyi dan imaji hadir serentak, dalam khiasma.

Khiasma: istilah ini saya pungut, dengan tafsir yang longgar, dari ilmu genetik. Chiasma:  titik atau saat yang mempertautkan dua kromosom yang tak serupa dalam lintasan yang bersilangan; di  saat itu keduanya saling bertukar bahan-bahan genetik selama terjadi meiosis.  Demikianlah ibarat dua kromosom itu,  daya auditif — katakanlah ‘musik’ pada pantun — bertemu, bertaut, bertabrakan, saling-silang, saling mengisi, dengan daya visual dari imaji-imaji yang muncul.

Itulah peristiwa puitik.

Tentu harus ditambahkan:  peristiwa puitik itu tak akan terjadi andai tak ada ritme.  Dalam pantun, ritme menggerakkan seluruh bait dalam metrum, dalam arti jumlah dan perbandingan suku kata yang teratur, dan naik-turunnya suara yang mengikuti itu.

Adapun ritme mempunyai dua sisi.  Di satu sisi, ketika ritme diterjemahkan dalam metrum, ia seakan-akan statis dan membatasi.  Di sisi lain, ia dinamis. Ia membuat pantun seakan-akan berada dalam arus yang bergelombang. Ia memberi bunyi dan imaji rasa ‘sukacita’ dalam gerak.  Dalam kata-kata Tagore, ‘Metre controls poetry, but it gives it “joy of motion”‘.

Paradoks itu juga yang menjelaskan mengapa ritme di satu pihak meneguhkan makna dan di lain pihak mencairkannya. Dalam pola yang berulang, melalui metrum, bunyi, dan nada, seperti dalam musik, makna terbentuk. Tapi ritme dalam gerak juga membuat makna mengikuti ‘the joy of motion,’  memasuki konteks emosi yang berubah, bersama  tubuh dan suasana alam yang terbawa waktu.

Itu sebabnya mustahil makna membeku. Pantun adalah sebuah pemaknaan-dalam-proses. Ia ‘sebuah dunia yang menjadi’, untuk meminjam kata-kata Chairil Anwar tentang sajak.

Sebagai dunia yang menjadi adalah sebuah dunia yang selalu lahir kembali. Itu sebabnya pantun, juga pantun percintaan yang telah berkali-kali ditulis di beberapa zaman, tak jadi usang.  Sitor Situmorang membuktikannya dalam salah satu sajaknya yang memukau ini:

Batu tandus di kebun anggur

Pasir teduh di bawah nyiur

Abang lenyap hatiku hancur

Mengejar bayang di salju gugur

Demikian pula ketika Muhammad Haji Salleh memunculkan pantun yang terkenal dari Sejarah Melayu ke dalam karyanya yang monumental, Sajak-Sajak Sejarah Melayu. Dalam ‘ceretera yang kesembilan’,  bait itu terasa sebagai, segar, original — walaupun tiap kata persis sama:

telur itik dari senggora,

pandan  terletak dilangkahi

darahnya titik di singapura

badannya terlantar di langkawi

Rasanya benar yang dikatakan Alfred North Whitehead: ‘Tak ada pemikir yang berpikir dua kali, dan…tak ada subyek yang mengalami sesuatu dua kali’.  Tiap pengulangan adalah perbedaan.

Itu sebabnya tak ada pantun yang mati, biarpun sekali. Ia selalu terlahir baru.  Kreasi yang sejati tak akan hanya jadi sebuah hasil jasad yang didaur-ulang.

Maka saya percaya, dalam usia beliau sekarang, Muhammad Haji Salleh — dan karya-karyanya —   akan menemui kita, menggugah kita, seperti cahaya pagi yang tiap hari datang.

Akhirul kalam, kepada beliau saya ucapkan: selamat hari jadi. Terima kasih. – Roketkini.com

(Pidato untuk Hari Jadi Sastrawan Negara dan Profesor Emeritus Muhammad Haji Salleh;  Pulau Pinang, 14 Mac 2012)