Rencana

Jokowi menang, reformasi bernyawa kembali

– Zulhabri Supian

Saat ini di Indonesia banyak warga yang menarik nafas lega. Bukan kerana mendapat tunjangan hari raya (duit raya) daripada syarikat masing-masing. Tetapi kerana tidak terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia penggal 2014-2019. Banyak yang dimaksudkan di sini adalah kalangan yang mendukung reformasi. Sebentar, burukkah sangatkah seorang Prabowo? Jika ditanya kepada warga Indonesia jawapannya terbelah dua, Prabowo sosok yang tegas bagi yang suka dan Prabowo sosok yang terpalit masalah hak asasi manusia bagi yang tidak suka.

Indonesia yang memasuki tahun ke-16 era reformasi masih terumbang-ambing mencari bentuknya sehingga warga yang merindukan zaman ‘tegas’ Orde Baru melihat Prabowo sebagai jelmaan semula Soeharto. Kita tidak boleh menyalahkan sepenuhnya warga yang merindui Soeharto dengan mengingini Prabowo kerana faktanya agenda reformasi yang dilaung mahasiswa pada 1998 masih jauh dari dicapai. Salah satunya agenda menghapuskan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Namun yang terjadi sebaliknya – rasuah semakin parah dan merakyat dari atas ke bawah sehingga juru parkir pun melakukannya.

Dalam jajak pendapat Kompas tentang agenda reformasi yang disiarkan pada 12 Mei 2014, hampir semua (88 peratus) responden menganggap pemerintah belum memenuhi tuntutan pembanterasan korupsi sebagai amanat reformasi. Hasil tersebut tidak menghairankan jika kita pernah melancong atau tinggal di Indonesia.

Begitu juga dengan agenda menegakkan kedaulatan hukum yang sekarang menjadi bahan ejekan warga. Tingkat ketidakpercayaan warga terhadap badan penegak hukum berada di tahap yang sangat rendah. Menjadi ungkapan biasa di Indonesia bahawa undang-undang digubal bukan untuk dikuatkuasakan, sebaliknya sebagai lahan untuk melakukan korupsi sebanyak-banyaknya.

Dua hal tersebut membuatkan warga memilih untuk bersikap tidak peduli dan tidak menaruh apa-apa kepercayaan kepada pemerintah. Indonesia yang pada awal reformasi bersemarak dengan wacana sosial politik dan hasil kreatif dalam bentuk buku, filem, dan muzik yang bermutu mulai mengalami penurunan. Reformasi yang dilihat sebagai harapan menuju Indonesia yang lebih jaya pada akhirnya sekadar mencipta kelas pekerja, kelas menengah dan mahasiswa yang benci politik. Warga Indonesia seakan pasrah dengan nasibnya dan mengambil jalan memutuskan nasibnya sendiri.

Pekerja seni, baik arus perdana mahupun independen, sebagai contoh, menggunakan ruang kebebasan yang ada dengan terus berkarya dan mengembangkan bakatnya di luar negara tanpa kehadiran pemerintah. Kumpulan muzik Bottlesmoker dari Bandung misalnya, yang pernah saya undang ke Malaysia beberapa tahun lalu, tidak pernah terfikir untuk meminta bantuan daripada pemerintah, kerana bagi mereka pemerintah tidak wujud. Meski begitu, dukungan daripada komuniti sealiran mudah didapatkan. Semangat seperti ini yang membuatkan Indonesia terus bertahan.

Aktres popular Indonesia Acha Septriasa ketika saya mewawancaranya beberapa tahun lalu menyebut, “Kita cuma bising-bising dan bisingan itu tidak dimasukkan ke dalam agenda membuat perubahan di tingkat pemerintah. Bisingan kita tidak ditampung usulannya.” Di satu sisi, pemerintah memberi kebebasan, tetapi seperti bersyarat, iaitu jangan ganggu kerja kami membuat kerosakan di negara ini.

Namun begitu, semua ketidakpercayaan itu berubah menjadi suatu gerakan tidak tersusun untuk memenangkan Jokowi dengan munculnya banyak relawan di seluruh pelusuk Indonesia. Kegagalan reformasi selama ini akan bertambah parah seandainya Prabowo terpilih. Berbondong-bondong pekerja seni dan juga aktivis yang selama ini putus harapan bangkit untuk mempertahankan harapan reformasi. Kerja keras mereka yang tidak dibayar – sesuatu yang luar biasa di Indonesia – akhirnya terbayar dengan terpilihnya Jokowi. Harapan tahun 1998 yang sudah lenyap kini kembali menjadi harapan baru, harapan tahun 2014 yang ditandai dengan Jokowi.

Jokowi dan pasukannya punya tempoh 10 tahun (tempoh maksimum presiden) untuk mengatur semula Indonesia ke arah yang lebih baik dari semua sisi. Sudah saatnya kebebasan yang dinikmati selama ini diperteguh dan ditambah dengan kesejahteraan yang merata, kesetaraan gender, kesetaraan pendidikan, tertegaknya hukum dan hal-hal baik lainnya. Andai ini terjadi, barangkali Malaysia akan kembali menjadi ‘adik’ jika tetap totok dengan “kestabilan dan keselesaan” serta malas berubah. -Roketkini.com