Sastera

Kutukan Malam : Sebuah Dialog Panjang Tentang Cerita Pendek Po A

Kelmarin di sebuah dangau berhampiran bendang ketika kami menikmati bianglala indah dan petang yang lembab cuacanya, Po A berkata kepadaku, “malam adalah dingin yang tak pernah habis merangkul kesepian.” Indah sekali sapaan awalnya kepadaku.

Malam dan kesepian adalah satu ironi yang panjang untuk ketika-ketika waktu bagi orang-orang yang sedang dalam pelukkan sebuah kekusutan yang tak terduga apatah lagi tak terbendung dan aku tidak kisah menyambut omongannya. Cuma pada ketika itu, aku hanya memberi reaksi yang sedikit dan aku cuba memberi balas dalam wajah yang meminta untuk diperlanjutkan lagi ceritanya.

“Ada ketika waktu yang aku sendiri tidak pasti, aku merasakan ingin sahaja membenam malam tatkala langit lazuardi mula meninggalkan bekas. Tapi kesepian barangkali akan mencemuhku, mencemuh sepanjang kehidupan dalam sebuah kutukan”

“Kutukan? Aku tidak berapa faham maksudnya.”

“Ya, kutukan,.kerana egois dan individualisku bisa membuatkannya tidak punya jiwa dan teman. Lalu, aku cuba memberi ruang buatnya. Biarlah malam terus dan terus menjelma. Cuma, biarkan untuk sekali ini, izinkan aku membawa bersama rembulan dan sinarnya ke kamarku.”

Po A cuba membujuk hatinya sendiri dengan meminta sedikit masa yang ada padanya untuk mengisi lompong-lompong rasa gundah.

“Memberi sebuah cahaya dan membawa sekali kesepian untuk menemaniku. Kupinta hanya sekali ini sahaja dan cukup untuk beberapa detik.” Begitu keluhannya indah dan sesekali memualkanku, tetapi buat jiwa yang sedang dalam sebuah pergolakan rasa, memualkan itu adalah keindahan yang tidak pernah ada infiniti.

Dan mengikut kefahaman dari ukuran waras akalku, Po A ingin mencari masa atau meminta untuk diberikan sedikit masa dalam kesepian itu untuk dia menyendiri sambil mengisi kesepian tersebut.

“Malam itu ketika di luar jendela ada angin yang lembut dan perlahan. Ada pepohon yang rendang juga ada suara-suara kecil bunyian unggas, damai sekali nikmatnya. Di sebuah sunyi aku cuba menyihir selintas ingatan yang resah. Ia adalah sebuah ingatan yang kembali menyapa, peristiwa lama ketika kecilku dan ia satu memorabilia yang sesekali liar. Dan, sesekali angin lembut menggoncang tirai di jendela lalu memelukku. Sejuk.”

Petang yang cuacanya lembab semakin membuatkan manusia semakin menikmati malasnya tersendiri dan Po A tidak segan melanjutkan keluhannya kepadaku tanpa dia memikirkan betapa aku akan menerima keluhan tersebut dengan jiwa yang menerima atau menjengkelkan.

“Aku tidak membenci ayahku, bahkan tidak pernah sama sekali. Cuma aku sedikit kecewa. Kenapa ayah tidak pernah mahu memberikan sebuah bahagia buatku walaupun aku tahu, ayahku adalah ayah yang terhebat. Membesarkanku dengan segala kudratnya. Berbuat apa sahaja pekerjaan dan bersusah payah untuk memberiku tempat tinggal walaupun sekadar rumah papan yang tatkala tiba hujan yang lebat, ada beberapa tetesnya sempat membasahi lantai rumah jika ibu tidak sempat menahannya dengan baldi.

Tapi kenapa tidak untuk sebuah kebahagiaan? Kenapa ayah tidak menjadi seorang ayah yang penuh mesra? Sebuah kemesraan yang begitu sekali aku inginkan. Aku mengerti ayah telah berusaha sebaiknya mencari apa yang termampu tapi bukanlah wang yang terlalu aku inginkan. Yang aku inginkan adalah sebuah layanan. Layanan manja penuh kebahagiaan.” Begitu bentaknya dalam nada awal yang sedikit kecewa akan hal yang lalu.

Aku masih terdiam tanpa ada sebuah jawaban buatnya, cuma tanpa rasa mengalah, aku terus memberikan sebuah reaksi yang paling menyenangkannya. Anggukan dan sebuah tumpuan yang tidak ada pengakhiran walaupun sejauh mana keikhlasanku berbuat demikian, aku sendiri tidak pasti. Dan tindakan ini setidaknya bisa menyenangkan Po A.

“Tapi barangkali tidak lagi untuk saat ini kerana sekarang usiaku sudah hampir tiga puluhan, hal tersebut sepatutnya berlaku dua puluh tahun lebih yang lalu. Ya, dua puluh tahun lebih yang lalu adalah saat yang sangat aku tagihkan kemesraan dan layanan bahagia daripada seorang ayah.

Namun masa-masa itu aku hanya menghabiskan waktu bersama ibu. Ibulah yang sering menemaniku dalam setiap payah yang ramah, ibulah yang sering memberi tawa yang mengubah gundah. Dan ketika itu aku tidak mengerti, kenapa ayah seringkali jarang pulang ke rumah dan aku juga tidak bisa mengingat, bagaimanakah canda ayah bersamaku, senyumnya tika mengusikku atau pujuknya tika aku menjadi rajuk bahkan menyeka tangisku tika aku sedang nangis”

Cerita tentang seorang ayah daripada anaknya adalah hal tersulit dalam penghidupan seseorang dan cerita-cerita itu pula adalah cerita yang memaut kesedihan yang panjang. Ya, walaupun kukenal rapat dengan ayahnya, namun tentang soal kesedihan apa yang terbaik buatku untuk sekarang adalah menjadi seorang pendengar yang tulus. Seperti apa yang diperkatakan Po A, ayahnya adalah seorang yang gigih berusaha membesarkannya dan itu adalah kebenaran yang tidak ada pendustaan sama sekali.

Dan Po A, memperlanjutkan lagi ceritanya tentang masa lalu. Wajahnya terlihat kesayuan yang jelas tanpa dibuat-buat dan kesayuan itu sesekali ternampakan seakan jujur.

“Apa yang aku bisa ingat, ibu cuma pernah bilang, kadangkala ayah keluar hampir sebulan dan tatkala ayah pulang, kami akan menikmati sedikit hidangan yang di luar dari kebiasaan.

Kini, setelah dua tahun usia perkahwinanku. Aku mulai paham, kenapa ayah jarang pulang ke rumah pada waktu dahulu dan kenapa ayah tidak memberi kesempatan kepadaku mencicip kemesraan dalam kebahagiaan walau sedetik cuma. Aku telah diajar menjadi anak yang tumbuh membesar dalam serba kepayahan.

Di usiaku kini, aku makin mengerti, kesusahan adalah juang daya yang takkan pernah habis dimamah sepi. Kesusahan adalah kebahagian yang tulus dalam sebuah pertanggungjawaban yang luhur. Ayah telah membuktikan bahawa tanggungjawab sebagai kepala keluarga adalah tugas yang berat.”

Cerita singkatnya itu membuatkan petang yang lembab cuacanya seakan perlahan bergerak, dan Po A terus melanjutkan lagi ceritanya.

“Jendela yang terbuka dan senang menerima angin hingga kamarku menjadi dingin dan aku turut kesejukan itu, kututup perlahan walaupun ada sedikit rasa malasku untuk bangun dari ranjang sebentar tadi. Ketika tanganku mencapai jendela tadi, sedikit leherku kupanjangkan ke luar, dengan jelas terlihat bendang yang di hadapan rumah walaupun dalam gelapnya malam. Bendang itu kini sudah sebati dengan ayah, sejak dari tubuhnya tegap dan sasa, sejak giginya kuat dan banyak serta sejak dari kulitnya masih tegang hingga tubuhnya kini kurus dan kering, giginya hampir tinggal gusi yang keras dan kulitnya kendur. Ayah tidak pernah jemu melayan karenahnya di bendang. Bendang dan ayah, sebuah perkawanan yang saling berbagi rasa.” Keluhan panjang itu terhenti seketika, Po A membuka beg kecil yang berisi daun rokok dan tembakau. Dibalutnya dan dicucuh. Asap rokok tersebut berkepul seperti kabus pada petang yang lembab ini.

Bendang..ya, di kampung kami sebahagian besar warganya memiliki bendang masing-masing. Kebiasaannya adalah daripada warisan leluhur mereka dahulu termasuk juga ayahku sendiri. Dan hampir sebahagian besar warga bekerja sebagai petani walaupun pada zaman sekarang suasananya sudah berubah dari segi teknologi dan cara pengusahaannya namun hasilnya tidaklah sehebat mungkin kerana desakan hidup pada zaman pasca Mahathirisme adalah satu cabaran yang sangat getir. Begitu juga harga padi yang semakin dikuasai oleh pemodal yang tidak memikirkan warga kampung dengan harga yang tidak setimpal dengan usaha dan subsidi yang tidak seberapa.

“Tubuhku yang separa bogel tidak dapat menahan terlalu lama terjahan angin malam meskipun ada indahnya di luar jendela yang harus dinikmati. Bersama bunyi cengkerik malam yang sesekali bingitnya menyenangkan, kututup perlahan jendela dan segera kembali ke ranjang. Menatap syiling dan cicak di dinding, sesekali terdengar dengkuran suara ayah yang ada tika-tikanya dengkuran itu bertukar menjadi batuk yang meresahkanku.

Mendengar suara dari dengkuran dan batukannya itu, kau tahu, dahulu suara ayahku sangat kuat dan keras. Jika dia menengking, tubuhku seolah mengecil dan mengecil hingga terkucil.” Tiba-tiba Po A sedikit ketawa dan tersenyum, kesayuan tadi yang sebentar tiba-tiba hilang dan senyuman itu turut membuatkanku tersenyum dan ikut ketawa bersamanya.

Perlahan masa mengajarku betapa masa silam adalah masa yang tidak akan pernah tersia jika kita mengakui dan tunduk kepada hati yang ikhlas.

“Semangat ayah menjadi pendorong buatku,” Po A meyakinkanku bahawa setiap apa yang terjadi dahulu adalah sebuah pengorbanan masa daripada seorang ayah kepada anaknya. Cuma dalam sesekali waktu, ada masa-masanya membuatkan seseorang itu akan diganggu dengan rasa ketidaktenteraman dan ketidaktenteraman itu akan terus mengganggu jika manusia itu terus-terusan menyalahkan pada keberadaan masa dan pelakunya tanpa memikirkan sedikit kebaikan yang telah diperlakukan.

Dan aku, anak pertamaku akan lahir lagi beberapa bulan. Aku sepertinya akan kembali ke dua puluh tahun lebih yang lalu. Menjadi seorang ayah seperti ayah Po A dan menjadi Po A. Memikirkan apa dan bagaimana untuk memberikan sebuah penghidupan yang baik buat anaknya, seperti ayah Po A. Berusaha seutuh mungkin dengan segala bagai cara kerana aku khuatir, kelak anakku tumbuh membesar. Dia tidak mengutukku di malam hari tatkala kesepian adalah ruang masa yang takkan terdorong oleh pengalaman. – Roketkini.com