Sastera

Ketemu anak muda dan tuanya – Zikri Rahman

“Jalan itu jauh Pak,”
ujar anak muda itu.

“Tapi, akhirnya ada permai,”
balas susuk tua itu.

“Dan permai yang aku titipkan buat diri kau, wahai anak kecil,
agar kau ingat, bahwa di liku ranjau siurnya ada ganjaran,”
tegas orang tua itu lagi.

“Untuk apa perjalanan jauh itu, jika menelusuri itu tidak setimpal ganjaran,
yang kadang ada bahayanya, ada malapetakanya, untuk apa?”
soal anak muda.

“Sungguh, timbang ganjaranmu dengan jerih perih itu bagai tidak setimpal,
tapi timbanganmu, dengan siasah melebar jatidiri, anak rasa bagaimana?”
balas orang tua.

“Kata orang, timbang anak kecil ini sialan, sejarah ditutur orang orang bangka,
seakan mengia, bahwa anak anak kecil, hanya perlu patuh membutuh,”
kesal anak muda.

“Justeru, yang tua bisa unjur yang salah diangkat menjadi petinggi petinggi,
dengan maha harap kononnya, agar anak kecil, bila usai muda menjejak tua,
saki daki dosa percaturannya, dipaling pada anak muda,”
tingkah orang tua.

“Malapetaka apa kami yang perlu junjung celaka tika muda mereka!?”
tempelak anak muda.

“Berasas kamu yang muda perlu junjung celakanya, hanya kerna kamu tidak upaya,
untuk bangkit, untuk melawan, nesta tua yang mengekal orde bangka,
hanya kerna sifatnya yang muda perlu tunduk hormat pada tua,”
jelas orang tua.

“Apa perlu kami perlu meninggal hormat? Apa perlu kami melulu lawan?”,
tanya orang muda.

“Jelasnya begini, ada berbeda, dengar pantun ini,

“banir akar memegang julai,
julai pohon bisa menangkah,
patuh hamba agung bernilai,
adil aturan tiada bersanggah,”

alun lelaki tua.

“Melawan itu biar bererti, saksama diri menjadi jati, begitu?”
faham anak muda.

“Sungguh wahai anak muda, dan jadikanlah, lantun soal, berbalik jawab,
ikhtiarmu yang terawal dan terakhir, biar minda cakna mencerna,
bukan persis yang tua tua, merela ganas untuk melunas, merela darah untuk berubah”,
pesan orang tua.

“Tapi, pada apa kami bermula…” gesa anak muda.

“Mulanya dengan kamu, ya, kamu yang bisa mengarca neraca,
timbangnya berat bicara neraka atau syurga, yang kau upaya,
sebenarnya, lurus fitrahmu pada benar yang sebenar benar,”
jelas orang tua.

“Barangkali, bisa aku hadamkan, benar anak muda, pada bangkit melawan,
untuk bisa cari pengalaman, dan biar pengalaman membiar kesalahan,
dan biar kesalahan menjadi pedoman, dan biar pedoman berakhir aman,”
bicara anak muda.

“Aku tidak upaya untuk memberi putus fikrahmu untuk membuat keputusan,
hanya kecuali aku menyampai hal hal kebaikan, untuk kau bisa berdepan,
tohmah nesta, pujuk rayu, adu domba, fitnah segala, sengketa laga,
dengan perisai fikrah mu yang kebal dengan fitrah asalmu, kebenaran,”
balas orang tua.

“Dan kebenaran bagiku, sesudah pencerahan kembalinya diri pada pasak fitrah,
hanya terngiang akan tanggujawab, mengibar lambaian kebenaran, pada haknya,
seluruh alam,” yakin anak muda.