Sastera

Surat Untuk Tuhan

Rumah itu – satu-satunya rumah di lembah itu – terletak di puncak bukit yang landai. Dari situ kelihatan sebatang sungai, dan di sebelah kandang binatang ada ladang jagung yang sudah matang diselang-seli dengan bunga-bunga kacang yang menjanjikan musim tuai yang baik.
Satu hal yang diperlukan ketika itu adalah turunnya hujan, atau paling tidak gerimis. Sejak pagi, Lencho, yang akrab dengan setiap lekuk ladangnya itu, tak henti mengamati langit sebelah Timur Laut.

“Kali ini hujan pasti turun sebentar lagi.”

Isterinya yang sedang menyiapkan makan malam menjawab: “Ya, mudah-mudahan.”

Anak lelaki yang lebih tua sedang bekerja di ladang sementara yang masih kecil bermain berhampiran rumah. Perempuan itu memanggil mereka: “Makan malam sudah siap…”

Waktu mereka sedang makan malam hujan lebat pun turun, tepat seperti yang diramalkan Lencho. Di langit sebelah Timur Laut nampak awan-awan sebesar gunung berarak semakin hampir. Udara sejuk dan segar.

Lencho beranjak ke luar rumah menuju kandang binatang hanya untuk merasakan nikmat air hujan di tubuhnya, dan waktu kembali ke dalam rumah dia berseru:

“Bukan air hujan yang sedang turun dari langit ini tapi duit syiling! Gumpalan-gumpalan air yang besar adalah syiling lima puluh sen, dan yang kecil-kecil dua puluh sen…”

Dengan wajah puas dipandanginya ladang jagungnya yang penuh bunga kacang diselimuti tirai hujan. Tapi tiba-tiba angin kencang berhembus dan bersama hujan mulai turun pula ketulan ais yang besar-besar. Ketulan ais itu betul-betul kelihatan seperti syiling perak. Anak-anak lelaki berhamburan ke luar rumah dan mengutipi mutiara-mutiara beku itu.

“Hujan ini sudah mula beri akibat buruk!” teriak Lencho, cemas. “Semoga segera berhenti.”

Hujan tidak segera berhenti. Selama satu jam hujan ketulan ais itu turun menimpa rumah, kebun, bukit, ladang jagung, seluruh daerah lembah. Ladang jadi putih seperti ditutupi garam. Tak satu pun daun tertinggal di ranting pohonan. Jagung semuanya rosak. Bunga-bunga tanaman kacang musnah. Lencho betul-betul sedih. Setelah badai itu berlalu, dia berdiri di tengah-tengah ladangnya dan berkata pada anak-anaknya: “Wabah belalang pun masih menyisakan lebih daripada ini… Hujan batu telah rosakkan semuanya. Tahun ini kita bakal tak punya jagung atau kacang…”

Malam itu sangat menyedihkan.

“Semua kerja kita sia-sia.”

“Tak ada yang boleh menolong kita.”
“Kita akan kelaparan tahun ini…”

Tapi dalam hati mereka yang tinggal di rumah terpencil di tengah lembah itu ada satu harapan yang tinggal: pertolongan dari Tuhan.

“Jangan terlalu bersedih walau semuanya ini seperti sebuah kehilangan yang tak mungkin berganti. Ingat, tak ada siapa yang akan mati kelaparan!”

“Begitulah kata mereka: tak ada yang mati kelaparan.”

Sepanjang malam Lencho hanya berfikir tentang satu-satunya harapannya itu: pertolongan Tuhan, yang menurut apa yang diajarkan padanya melihat segalanya termasuk apa yang ada dalam hati nurani manusia.

Lencho adalah seorang pekerja yang rajin, dan dia juga tidak buta huruf. Hari Jumaat berikutnya setelah matahari terbit dan setelah berhasil meyakinkan dirinya akan keberadaan suatu zat yang akan memberikan pertolongan, Lencho pun mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota untuk diposkan.

Surat itu tidak lain tidak bukan ditujukannya kepada TUHAN.

“Tuhan,” tulis Lencho, “kalau Kau tidak menolong aku, keluargaku dan aku akan kelaparan tahun ini. Aku perlu sepuluh ribu ringgit untuk tanam semula ladangku dan untuk biaya hidup sampai musim menuai tiba, karena badai hujan batu….”

Dia menulis “KEPADA TUHAN” di sampul surat, memasukkan surat itu ke dalamnya dan, masih merasa sedih, berangkat ke kota. Di pejabat pos dia tampal stem dan masukkan surat itu ke dalam peti surat.

Salah seorang pegawai pejabat pos yang juga merupakan posmen menemui orang atasannya sambil ketawa menunjukkan surat untuk tuhan itu. Belum pernah dalam sejarah keriernya sebagai posmen dia menemuai hal sebegini. Ketua pejabat pos yang gemuk dan ramah itu juga hamburkan ketawa tapi kemudian dia jadi serius dan sambil meletakkan surat itu di atas meja, dia berkata:

“Betapa kuat kepercayaannya! Kalau saja aku punya iman seperti orang yang menulis surat ini. Seandainya saja aku punya keyakinan sebesar keyakinannya ini. MENULIS SURAT KEPADA TUHAN!!!”

Untuk tidak mengecewakan iman luar biasa yang ditunjukkan sepucuk surat yang tak mungkin dikirimkan itu, ketua pejabat pos itu mendapat satu idea: membalas surat itu. Tapi waktu sampul surat dibukanya, ternyata untuk membalasnya, maksud baik, tinta dan kertas belaka tidaklah cukup. Tapi dia tetap pada pendiriannya. Dia lalu minta sumbangan duit dari para pegawainya dan dia sendiri menyumbangkan setengah dari gajinya, sementara beberapa kawannya dengan sukarela juga menambah “sumbangan kemanusiaan” itu.

Tapi tak mungkin untuk mengumpulkan duit sebanyak sepuluh ribu ringgit, maka dia mengirimkan hanya separuh daripada jumlah yang diperlukan petani itu. Wang itu dimasukkan ke dalam sampul surat yang dialamatkan kepada Lencho dengan disertai secarik kertas yang hanya bertuliskan satu kata sebagai tanda tangan si pengirimnya: TUHAN.

Hari Jumaat berikutnya Lencho datang lebih awal dari biasanya ke pejabat pos dan bertanya kalau ada surat untuknya. Posmen itu sendiri yang menyerahkan surat itu padanya sementara ketua pejabat pos yang merasa bahagia telah melakukan sebuah perbuatan mulia mengintip dari pintu pejabatnya.

Lencho sama sekali tidak menunjukkan rasa hairan waktu melihat duit dalam sampul itu – begitulah besar imannya – tapi dia malah jadi marah setelah menghitung jumlah duit tersebut… Tuhan pasti tidak membuat kesalahan, atau menolak apa yang dimintanya!

Cepat-cepat Lencho minta kertas dan pen. Di meja yang khusus disediakan untuk pelanggan pejabat pos itu dia pun menulis, sambil mengerutkan keningnya kerana berusaha bersungguh-sungguh untuk menyampaikan buah fikirannya. Setelah selesai, dia pergi membeli stem, lalu dijilat dan dilekatkannya ke sampul surat dengan tinjunya.

Sebaik surat itu masuk ke dalam kotak surat, ketua pejabat pos segera mengambil dan membukanya. Di dalamnya bertulis:

“Tuhan, dari jumlah wang yang aku minta itu, hanya tujuh ribu saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah bakinya kerana aku betul-betul perlukan wang itu. Tapi jangan kirim guna pejabat pos sebab posmen di sini semuanya taik pit. Lencho.”

* Diterjemah ke Bahasa Melayu dari terjemahan Bahasa Inggeris Donald A. Yates. Karya asal “A Letter to God” oleh Gregorio Lopez y Fuentes. Gregorio López y Fuentes (1897-1966) merupakan penyair, penulis novel dan wartawan yang hidup sekitar perjuangan revolusi Mexico. Mula menulis semenjak berumur 15 tahun, buku-buku Gregorio banyak menyentuh isu sosial dan masyarakat di negaranya. Gregorio merupakan penerima anugerah The National Prize for Arts and Sciences Mexico pada 1945.